Tugas MKU Bahasa Indonesia
PENCURI 3 BUAH COKLAT VS PENCURI UANG
NEGARA
Mencapai sebuah keadilan di Indonesia nampaknya
masih merupakan sebuah impian. Hal
ini ditandai dengan terjadinya praktik-praktik ketidakadilan sosial yang
akhir-akhir ini muncul di permukaan.
Kasus yang paling menarik perhatian di bidang
ketidakadilan sosial ini adalah kasus Minah yang dituduh mencuri tiga buah
cokelat. Kasus ini sangat menarik perhatian. Betapa tidak, tuntutan untuk bisa bertahan
hidup di bawah garis kemiskinan yang harus mereka tanggung harus ditambah
dengan beban psikologis dalam melewati masa-masa persidangan.
Meskipun pada akhirnya kasus ini berujung pada bebasnya Minah, namun publik akan terus bertanya tentang
dimana keadilan di Indonesia. Mengapa orang-orang miskin dapat dengan mudah
diseret ke meja hijau sedangkan para penjahat kerah putih masih bebas
berkeliaran menghirup udara bebas.
Coba dilihat dari unsur ketidaktahuan
Setiap orang pasti mendambakan tercapainya
sebuah keadilan, oleh sebabnya ada hukum yang berfungsi untuk menindak mereka
yang berbuat tidak adil demi tegaknya keadilan.
Minah dinilai
telah berbuat tidak adil karena mencuri yang notabene bertujuan menguntugkan
diri dengan merugikan orang lain. Maka dari itu, mereka pun harus ditindak demi
tegaknya keadilan.
Namun, apakah hal ini mencerminkan bentuk
keadilan yang sesungguhnya? Jika dilihat dari formalitas dan legalitas, hal ini memang sebuah ketidakadilan yang
harus ditindak sesuai dengan Undang-Undang.
Namun, jika dilihat dari sisi
keadilan yang lebih luas, unsur ketidakadilan itu tidak nampak sama sekali.
Aristoteles dalam karyanya The Nicomahean
Ethics menyatakan bahwa adil atau tidaknya suatu perbuatan itu bergantung pada
unsur kesengajaan dan pengetahuan di dalamnya. Jika suatu perbuatan tidak adil
dilakukan atas unsur ketidaksengajaan dan ketidaktahuan, maka perbuatan itu
tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah ketidakadilan.
Dari hal ini, maka kita dapat mengklasifikasikan
sekarang apakah perbuatan yang dilakukan oleh Minah tergolong perbuatan ketidakadilan atau tidak.
Sewaktu
Minah memetik cokelat, tidak terbersit pikiran untuk mengambil cokelat itu,
bahkan cokelat itu pada akhirnya diserahkan kepada mandor. Minah sendiri
melakukan itu karena tidak sengaja melihat pohon-pohon cokelat yang sedang
berbuah. Lebih jauh lagi, Minah tidak mengetahui konkekuensi dari tindakannya
itu, karena ia buta huruf dan buta hukum. Ia pun tidak mengetahui hal itu ternyata bisa
menyeretya ke pengadilan.
Dari sini nampak jelas bahwa kasus tersebut memenuhi unsur ketidaksengajaan
dan ketidaktahuan. Oleh karenanya, menjadi jelas mengapa publik begitu geram
ketika mendengar kasus ini maju ke pengadilan, karena perkara yang diadili
bukan merupakan sebuah perkara ketidakadilan, melainkan hanya perkara
ketidaksengajaan dan ketidaktahuan.
Lain lagi jika berbicara mengenai penjahat
kerah putih. Dalam hal tersebut, semua perbuatan yang dilakukan murni sebuah
kesengajaan karena ingin memperkaya diri sendiri ditambah dengan pengetahuan mereka
bahwa hal itu salah namun masih tetap dilaksanakan. Itulah mengapa pulik geram
ketika perkara penjahat kerah putih tidak selesai, yakni karena keadilan tidak
tegak disana.
Mulai dari kasus korupsi soeharto (yang akhirnya
meninggal), disusul anaknya tommy soeharto yang korupsi juga, kemudian gayus
korupsi di perpajakan, dan lain-lain. Semuanya masih belum selesai dan
menggantung. Karena menurut saya Negara ini masih “mata duitan”, hingga hukum
pun dapat dibeli.
Dilihat dari sudut keadilan
proposional
Menjawab masalah ini, pernyataan Presiden SBY
perihal tidak menyamaratakan perbuatan kriminal (Kompas 17/2/2010) patut diapresiasi. Hal ni menunjukkan setidaknya Presiden
sudah peka dengan adanya ketidakadilan sosial di Indonesia ini serta begitu
kaku dan kejamnya hukum dengan orang miskin namun terhadap mereka yang kelas
atas, seolah hukum seperti anak buah mereka.
Selanjutnya untuk ke depan, perlu adanya sebuah
revisi hukum. Hukum yang ada harus bisa menegakkan keadilan secara proporsional
dan adil, yakni ditunjukkan degan tidak adanya perbedaan hukum antara kaum miskin dan kelas atas. Setiap apa
yang mereka perbuat yang merupakan ketidakadilan, harus dihukum sama hukumannya
dan sama masa berlaku hukumannya baik kelas bawah maupun kelas atas.
Ditambah lagi kaena mungkin ketidaktahuan orang miskin
yang buta huruf dan buta hukum, hukum harus bisa bersifat mendidik dan membina,
sedangkan untuk golongan atas yang notabene mengerti
hukum tapi tetap melakukan ketidakadilan dengan sengaja, hukum harus
lebih bisa membuat efek jera yang maksimal.
Tanpa adanya reformasi hukum ini, hukum di
Indonesia tetap akan menjadi sebuah hukum yang tidak berkeadilan.
HANA AFIFAH
M0210029
Comments
Post a Comment